Sabtu, 15 September 2012

abah olot

       Abah Olot Melestarikan Karinding



Abah Olot.
Oleh Rini Kustiasih KOMPAS.com — Endang Sugriwa alias Abah Olot meyakini, alat musik tradisional sebagai bagian dari kebudayaan suatu suku atau bangsa harus dilestarikan. Ini demi kebertahanan identitas masyarakat suku atau bangsa tersebut. Tahun 2003, ketika karinding, alat musik tradisional Sunda, dikabarkan punah, ia terperangah. ”Saya punya tanggung jawab,” katanya.


Serangga sawah menyingkir apabila karinding berbunyi
Abah Olot merasa berkewajiban mencegah kepunahan karinding. Sejak dari kakek buyutnya, keahlian membuat dan memainkan karinding diwariskan dalam keluarga. Ia lalu meninggalkan pekerjaannya sebagai perajin mebel kayu dan bambu di Cipacing, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ia kembali untuk menekuni warisan keluarga.
”Saya generasi selanjutnya yang mewarisi keahlian itu setelah ayah saya (Abah Entang) tidak bisa lagi membuat karinding karena matanya rabun,” kata Abah Olot di Desa Cimanggung, Kecamatan Parakan Muncang, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Di rumah bambu itu, Abah Olot dibantu lima perajin membuat karinding dan alat musik lain berbahan bambu. Pada ambin di teras rumah tersimpan seperangkat instrumen, berupa celempung (sejenis kecapi), toleat (seperti seruling), dan kokol (mirip kulintang). Instrumen itu digunakan grup musik tradisional Giri Kerenceng pimpinan Abah Olot.
Semua alat musik tradisional itu hampir punah. Namun, yang menjadi perhatian utamanya adalah karinding. Alasannya, hanya sedikit warga yang bisa membuat karinding.
Karinding mulanya terbuat dari pelepah aren dengan panjang 10-20 sentimeter. Namun dalam perkembangannya, pelepah aren semakin langka karena banyak warga yang menebangi pohon aren. Alasan mereka, pohon itu tidak lagi berbuah. Maka dari itu, pelepah aren pun terbuang, tidak sempat tua dan mengering.
Bambu lalu menjadi bahan utama karinding. Syaratnya, umur bambu minimal dua tahun. Bambu dipotong, dihaluskan, dan dibagi menjadi tiga ruas.
Ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karinding diketuk dengan jari. Agar bisa menimbulkan suara, ruas tengah karinding diletakkan di mulut, diapit bibir atas dan bawah.
Sekilas bunyi karinding serupa lengkingan serangga di sawah. Bunyi itu berasal dari resonansi di mulut saat karinding digetarkan. Untuk mengatur tinggi-rendah nada, pemain harus lincah mengatur napas dan ketukan jari. Alat semacam itu juga ada di Bali, disebut genggong. Namun, cara memainkannya berbeda. Genggong ditarik benang.
Abah Olot bercerita, karinding mulai jarang dimainkan selepas tahun 1970-an. Maraknya alat musik modern memengaruhi selera musik masyarakat sampai ke kampung. Karinding, yang dahulu sering dimainkan pada acara pernikahan atau sunatan, mulai menghilang.
Tahun 1940-1960-an, karinding akrab dalam kehidupan masyarakat Sunda. Karinding dimainkan untuk menghibur petani seusai memanen padi atau saat menjemur hasil panen. Malam harinya karinding dimainkan sebagai wujud sukacita atas hasil panen.
”Karinding juga dimainkan petani saat menjaga sawah. Serangga sawah menyingkir apabila karinding berbunyi,” katanya.
Memasuki era 1990-an, karinding seperti ditelan bumi. Minimnya publikasi tentang karinding menjadi salah satu faktor redupnya alat musik tradisional itu. Karinding hanya lestari dalam sejumlah kecil keluarga, termasuk keluarga Abah Olot.
Sejak usia 7 tahun, Abah Olot belajar memainkan dan membuat karinding dari ayah dan pamannya. Keahlian itu dia tinggalkan saat beranjak dewasa. Abah Olot sempat menjadi pengojek dan perajin mebel sebelum meneruskan warisan keahlian keluarga.
”Istilahnya ulah kasilih ku junti, jangan melupakan adat-istiadat,” katanya.
Mulai bangkit
Namun, membangkitkan karinding tak mudah. Bunyi karinding dianggap tak sesuai dengan perkembangan musik. Saat awal membuat karinding, Abah Olot memberikan cuma-cuma kepada siapa pun yang mau menerima.
Ajakannya kepada pemuda di kampung untuk memainkan karinding ditolak. ”Orang tua dan anak muda beranggapan tak ada gunanya memainkan karinding,” katanya.
Namun, Abah Olot terus mempromosikan karinding ke berbagai daerah. Tahun 2008, pada perayaan ulang tahun Kota Bandung, dia bertemu komunitas kreatif kaum muda Bandung yang tergabung dalam Commonrooms.
”Mereka minta suplai karinding untuk dimainkan di depan publik,” kata Abah Olot.
Pada tahun yang sama dibentuk kelompok musik Karinding Attack beranggota delapan orang. Personel Karinding Attack bukan seniman tradisional Sunda. Mereka berasal dari komunitas musik underground dan death metal yang sering dianggap ”budak baong” (anak nakal). Abah Olot justru mengajari mereka memainkan karinding.
Hasilnya, pada berbagai pertunjukan musik cadas dan punk, seperti Bandung Deathmetal Festival pada Oktober 2009, karinding turut tampil. Bermula dari komunitas death metal, karinding mulai populer di kalangan kaum muda.
Banyak di antara mereka lalu tertarik dan ingin belajar memainkan karinding. Maka, setiap Rabu dan Jumat, di tempat Abah Olot dibuka latihan bagi mereka yang ingin belajar karinding.
Kini, satu karinding dihargai Rp 50.000. Pesanan karinding mulai mengalir, bahkan pernah dalam sepekan Abah Olot harus memenuhi pesanan 100 karinding.
Alat musik tradisional yang sempat dikhawatirkan punah itu kembali mewabah. Hampir semua daerah di Jawa Barat mempunyai kelompok musik karinding. Pemainnya bukan orang tua, tetapi anak muda dengan kreasi lagu modern.
Nama kelompok mereka pun ”segar”, seperti Markipat (kependekan dari Mari Kita Merapat), Karmila (singkatan dari Karinding Militan), Republik Batujajar dari Kabupaten Bandung Barat, dan Karinding Skateboard yang dimainkan komunitas skateboard.
Karinding juga dimainkan dalam Bandung World Jazz Festival, Desember 2009. Meski bisa dikatakan tidak lagi dimainkan di sawah, karinding justru mencuat pada festival jazz dunia diiringi musik elektrik dan instrumen modern, seperti gitar, terompet, dan drum. Maka, mengalunlah lagu-lagu Sunda dalam harmoni jazz dan karinding.
Di balik semaraknya kembali karinding, ada Abah Olot yang tetap setia di ”bengkelnya”. Dia tetap tekun menghaluskan bambu dan menjaga identitas masyarakat Sunda.



Abah Olot, Lestarikan Karinding Agar Tidak Punah






Abah Olot memang lahir di keluarga yang melestarikan alat musik karinding. Ayah Abah Olot adalah seorang pembuat karinding dan bisa memainkan karinding. Ia pun rela meninggalkan pekerjaannya sebagai perajin mebel kayu dan bambu di Cipacing, Kabupaten Bandung. Ia kemudian memilih untuk menekuni warisan turun temurun keluarganya tersebut.

"Mulanya pada tahun 2004 Abah mau mencoba bikin karinding juga. Tapi beliau (ayah Abah Olot-red) bilang sudah tidak bisa membuat lagi karena sudah tua. Kemudian saya diwariskan ilmunya untuk membuat karinding ini. Saya juga merasa mewariskan ini kepada anak-anak muda" tutur Abah Olot kepada detikbandung.

Berbekal kemampuannya membuat dan memainkan karinding serta tekadnya untuk melestarikan warisan budaya leluhur Sunda, Abah Olot kemudian syiar ke Bandung dan pelosok-pelosok daerah di Jawa Barat. Kebetulan ia dipertemukan dengan Dadang Hermawan alias Mang Utun, seorang aktivis lingkungan hidup yang akhirnya membawa Abah Olot ke komunitas Ujungberung Rebel.

"Berkat dukungan anak-anak, sekarang karinding ini lebih berkembang dan lebih kuat. Jangan sampai kesenian tradisional ini dianggap punah," tegas Abah Olot.

Seperti yang ditulis oleh Kimung, salah satu personel Karinding Attack, karinding adalah waditra karuhun Sunda, terbuat dari pelepah kawung atau bambu berukuran 20 x 1 cm yang dibuat menjadi tiga bagian, yaitu bagian jarum tempat keluarnya nada (disebut cecet ucing), bagian untuk digenggam, dan bagian panenggeul (pemukul). Jika bagian panenggeul dipukul, maka bagian jarum akan bergetar dan ketika dirapatkan ke rongga mulut.

Dari situlah bunyi tersebut dihasilkan. Namun bunyi yang akan dikeluarkan bisa diatur tergantung bentuk rongga mulut, kedalaman resonansi, tutup buka kerongkongan, atau hembusan dan tarikan napas.

Yuk belajar karinding cuyyy


Abah Olot Ingin Karinding Populer seperti Angklung

Abah Olot Ingin Karinding Populer seperti Angklung
Mimpi Abah Olot adalah Karinding bisa naik pamor seperti alat musik bambu yang sudah lebih dulu dikenal, seperti angklung. Maka ia pun tak lelah untuk terus memberikan ilmunya baik melalui workshop atau menerima tamu di kediamannya di Desa Cimanggung, Kecamatan Parakan Muncang, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Muridnya pun kini sudah tidak terhitung. Abah menyebut, hampir di seluruh wilayah di Jawa Barat dan Bali sudah ada yang pernah diajari karinding oleh Abah Olot. “Abah hanya ingin memberitahukan kepada masyarakat, bahwa karinding itu masih ada, tidak punah,” tutur Abah Olot kepada detikbandung.
Sejak Abah menekuni dan menghidupkan kembali karinding, abah sempat disebut orang gila oleh masyarakat sekitar karena dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Namun cemoohan itu tak menyurutkan Abah untuk tetap meneruskan perjuangannya untuk melestarikan karinding.
“Abah maklum saja kalau perhatian terhadap musik tradisional kurang. Apalagi sekarang terganggu dari musik luar. Bagus juga belajar musik dari luar, tapi kesenian tradisional dari dalam negeri jangan diabaikan,” tegas Abah.
Beruntung sejak abah sering mengajar kelas karinding di Common Room dan melakukan workshop banyak orang luar negeri yang ingin belajar karinding kepada abah.
“Sekarang malah yang dari luar negeri datang mau belajar karinding, ada dari Mexico, atau dibawa teman ke Kanada, ke Amerika juga. Tapi abah sendiri belum pernah ke luar negeri,” tutur Abah.
Keseharian abah di rumahnya saat ini membuat karinding, dan membuat pendukung pertunjukan karinding lainnya, seperti keretek, kohkol dan lainnya. Dalam satu hari, jika abah fokus untuk membuat karinding, bisa menghasilkan 10 buah karinding yang terbuat dari bambu atau pohon aren.
“Membuat karinding itu susah,” kata Abah.
Di keluarganya abah juga tak sendirian mengembangkan karinding ini, anak keduanya juga gemar bermain karinding. “Anak kedua abah perempuan tapi suka main karinding. Kalau kebetulan sekolahnya sedang libur suka dibawa main ambil ngajarin karinding,” tutur abah.

0 komentar:

Posting Komentar